29 Maret 2008

KUPERSUNTING ENGKAU







Layaknya orang kasmaran
Hatiku menggelinjang
Terbakar birahi jiwa yang lama sendiri
Tak terbendung rindu
Meluap-luap penuh seluruh
Semesta alam menjadi saksi
Hanya Engkau pilihan kasih

Terimalah persuntinganku
Dalam satu persembahan
tiada lain kecuali jiwa ragaku

Aku hanya punya cinta
Dan rindu tiada tara
Karenanya aku siap menghamba
Mencari tempat dalam kesucian-Mu
Dan kita menyatu

Jogja, September 1993

DERMAGA








Sajak 1

biduk renta berlabuh jua
singgah sebentar melepas dahaga
kusandarkan lelah di tiang dermaga yang sepi
sambil menghitung semangat yang letih

duhai kekasihku
kujemput engkau di dermaga itu
menjelang malam dengan rindu yang diam
menyaksikan seonggok nasib nan remuk redam

tak ada yang aku punya
sekedar cinta yang sekarat

biarlah kupersembahkan jua

padamu muara harapan tertambat

Asahan - Jogja, 2002


Sajak 2

ada sepercik mimpi bertengger di batas laut
menyulam biduk renta dengan seuntai jamrud
kekasihku, jika engkau berhasrat sangat
bergegaslah tinggalkan dermaga yang penat
usah hiraukan duka berbilang
ambillah satu saja; sekedar cukup dikenang-kenang

Asahan - Jogja, 2002

MATAHARI









Satu

Matahari yang luka
Cahayanya membentur awan pekat dan beku
Tak berdaya alirkan energi ke bumi yang menanti

Matahari yang merana
Hari-harinya dirundung kemalangan panjang
Meratapi kenistaan dan aniaya

Matahari yang tersiksa hatinya
Hidup penuh penyesalan dan rindu
Menanti di peraduan yang rentan

Dua

Matahari di peraduan yang rentan
Rindu entah pada siapa
Mengais sisa waktu
Dalam hidupnya yang tak menentu

Matahari yang merindu
Di antara semangat yang letih
Merintis perjalanan berliku
Mencoba membangun rumah cinta

Tiga

Matahari yang mencoba membangun rumah cinta
Tertatih-tatih dalam perjalanan berliku
Di antara semangat yang letih ia bertahan
Teringat masa lalu yang sia-sia
Menangis meratapi hatinya yang luka
Mengadukan nasib entah pada siapa

Matahari yang tertatih-tatih
Terus mencoba membangun rumah cinta
Hingga akhir hidup tertutup mata

Asahan, 1999

SKETSA KEHIDUPAN DI HUTAN KARET










Hutan-hutan karet bersujud
Angin-angin bertasbih
Fajar menyingsing mengucap salam
Putra Adam lahir
Bumi bergetar mendengar tangisnya

Hutan-hutan karet bernyanyi
Angin-angin menari
Matahari telah terbit

Tanah merah merekah
Sungai-sungai mengering
Kemarau telah tiba

Wabah penyakit
Kelaparan
Merenda kemiskinan

Buruh-buruh perkebunan tertindas
Upah yang mencekik leher
Orang-orang antre sembako

Putra Adam cacingan
Badannya kurus
Perutnya buncit
Kakinya korengan

Sejarah mulai tertulis
Putra Adam belajar membaca
Di sekolah desa yang kekurangan guru dan buku

Belajar mengenal bendera
Merah tanda berani
Putih pertanda suci
Indonesia Raya
Putra Adam mengenal bangsanya

Negeri yang subur
Tongkat kayu dan batu jadi tanaman
Putra Adam melihat ketimpangan

Hutan-hutan karet mengering
Angin-angin berdebu
Kegelisahan yang panjang
Pelan-pelan terekam dalam benaknya

Mulai bertanya-tanya
Tentang arti kemiskinan

Bertanya-tanya
Tentang arti kesenjangan

Bertanya-tanya
Tentang arti buruh tertindas
Dan majikan yang menindas

Sejarah mulai tertulis tegas
Menemukan arti upah yang kecil
Dan buruh-buruh perkebunan yang hidupnya terjepit beban

Perlawanan mulai berkibar
Dalam hatinya yang gelisah dan gusar

Hanya lewat puisi ia tuliskan semuanya
Di antara kembang-kembang asmara
Yang mulai tumbuh di hatinya

Pemberontakan dilakukan
Putra Adam melihat ketidak-adilan
Di sekolahnya, di rumahnya, di desanya
Ia belum bisa berbuat apa-apa
Kecuali bersembunyi di balik kegalauan hatinya sendiri
Sambil belajar berorganisasi....

Asahan - Jogja, 1998

22 Februari 2008

Allah Tuhan Seru Sekalian Alam

Suatu hari di tahun 1992 di kantin kampus, aku bertanya pada salah seorang teman. "Bung! Kau kan seorang muslim. Boleh aku tanya, siapa Tuhanmu?" Teman tersebut keheranan mendengar pertanyaanku yang menurutnya sangat aneh. "Kenapa kau tanyakan itu padaku? Bukankah kau juga seorang muslim? Mestinya kau tahu apa jawabnya" Sesaat aku sempat terpaku, "Ya. Kita memang sama-sama muslim, tapi gak salahkan kalau aku bertanya siapa Tuhanmu. Barangkali pemahaman kita tentang tuhan berbeda. Aku hanya ingin tahu saja!" Teman tersebut sedikit mahfum. "Oh kalau itu maksudmu aku paham. Tentu saja tuhanku Allah. Tuhanmu?". Singkat aku menjawab, "Ya Allah juga! Tapi kenapa Allah kau jadikan Tuhan?" Tanyaku lagi, teman tersebut menjawab "Ya karena aku seorang muslim!" Aku ajukan pertanyaan lagi, "Kalau begitu menurutmu Allah itu tuhannya orang muslim?" Teman tersebut singkat menjawab "Pasti dong!". Pembicaraan terputus, aku tidak meneruskan lagi, khawatir menjadi perdebatan sengit, karena kedangkalan tauhid kami berdua. Tapi dari lubuk hatiku yang paling dalam, aku selalu memikirkan jawaban terakhir dari teman tersebut. Menurutku seorang muslim memang berikrar bahwa Allah sebagai tuhan yang diyakininya, namun tidak berarti Allah itu semata-mata tuhannya orang muslim. Jika Allah hanya tuhannya seorang muslim, berarti Allah tuhan sekelompok kaum saja. Padahal menurut pendapat dan keyakinanku, Allah itu Tuhan Seru Sekalian Alam, Allah adalah sumber rahmat bagi seluruh alam beserta isinya termasuk manusia dari berbagai latar belakang kelompok, golongan, ras, dan agama. Mudah-mudahan pendapat dan keyakinanku ini bukan suatu kesesatan. Ya Allah lindungi hambaMu ini dari pikiran sesat dan hati yang gelap. Amin.

"Hari ini, segalanya berakhir segalanya bermula. Nol adalah permulaan dan kesederhanaan!"

Hari ini segala kemungkaran sekecil dan sebesar apapun harus segera diakhiri. Sebaliknya, hari ini pula segala keshalehan baik secara individual maupun secara sosial sekecil dan sebesar apapun harus dimulai. Dari nol hingga ke hitungan tak terhingga. Mencapai puncak kebahagiaan, hidup penuh manfaat dan barokah dalam keridhaan Allah SWT.

Kisah Ironi Negeri Berjuluk Jamrud Khatulistiwa Dalam Satu Anekdot

Inilah kisah sebuah ironi di negeri berjuluk jamrud khatulistiwa. Kukisahkan ke dalam satu anekdot untuk menjadi perenungan kita semua. Alkisah.... Seorang lurah menegur seorang warganya karena pada tanggal 17 Agustus 2005 baru lalu warga tersebut tidak memasang bendera di depan rumahnya. Sang Lurah berkata : "Mengapa kamu tidak pasang bendera? Apakah kamu sudah tidak cinta lagi dengan tanah air mu?" Dengan sangat enteng si warga yang kebetulan orang berdarah batak itu menjawab : "Bah, cemana pula aku mau cinta sama tanah air pak ! Sedangkan tanah saja aku sewa dan air aku beli!" Dengan menggeleng-gelengkan kepalanya yang penuh tanda tanya itu Sang Lurah meninggalkan si Warga tersebut.