22 Februari 2008
Allah Tuhan Seru Sekalian Alam
"Hari ini, segalanya berakhir segalanya bermula. Nol adalah permulaan dan kesederhanaan!"
Kisah Ironi Negeri Berjuluk Jamrud Khatulistiwa Dalam Satu Anekdot
"Berjalan di atas realitas, berpijak pada Hari Akhir. Wahai Aku!"
Kencing Rp. 500 Berak Rp. 1000
Islam Versus Kapitalisme
Defenisi keterbelakangan ternyata juga merupakan world of view kaum modernisme yang nota bene representasi dari negara-negara maju (kapitalis) terhadap masyarakat dari berbagai negara yang mereka pandang sebagai negara berkembang, sedang berkembang, atau tidak berkembang (terbelakang).
Dengan demikian Keterbelakangan sebagai representasi masyarakat negara berkembang merupakan kategori yang diciptakan oleh dan atas dasar world of view negara maju. Berdasarkan cara pandang seperti itu dominasi negara-negara maju atas negara-negara berkembang terjadi tanpa terhindarkan. Eksploitasi dan diskriminasi menjadi bagian tak terpisahkan dalam proses dominasi yang terjadi terus menerus dan mengurat-akar. Hingga terbentuklah new world of view masyarakat negara berkembang terhadap negara maju bahwa negara maju merupakan refleksi atas suatu kondisi masyarakat yang tercerahkan dan oleh karenanya masyarakat negara berkembang berlomba-lomba ingin menjadikan dirinya hidup seperti mereka.
Cara pandang seperti ini sesungguhnya suatu cara pandang yang semu dan terlahir akibat dari tidak sekedar dominasi, melainkan hegemoni. Implikasi secara ekonomi politik menjadi tidak menguntungkan dan mengancam keberlangsungan dan daya tahan harapan hidup masyarakat negara berkembang. Potensi-potensi yang dimiliki masyarakat menjadi sulit dipertahankan dan apalagi dikembangkan sesuai dengan citra lokal.
Seluruhnya telah masuk ke dalam atmosfer moderisme yang merubah wajahnya menjadi kapitalisme. Masyarakat negara berkembang disulap dan menjadi kian pasrah dan tak berdaya menyaksikan penghisapan sitematik yang dilakukan negara maju terhadap negaranya sendiri. Acapkali tanpa disadari sistem penghisapan yang terjadi berjalan sedemikian rupa membonceng isu-isu strategis seperti demokrasi, keadilan, dan kemanusiaan (HAM), dll.
Setiap lahir gejala-gejala kebangkitan lokalitas dalam masyarakat berkembang atas dasar spirit apapun, dengan mudah berbagai cap diberikan seperti sparatisme, radikalisme, fundamentalisme, dan terakhir terorisme. Cap-cap seperti ini tidak cukup dipahami sekedar sebagai teror dan intimidasi negara maju terhadap negara berkembang, tetapi juga meski dipahami sebagai strategi pelumpuhan atas berbagai potensi spirit of struggle yang dimiliki setiap masyarakat lokal di negara berkembang terhadap kapitalisme. Talcott Parsons menyebutnya sebagai gejala yang potensial merusak sistem dominan dan karenanya oleh penganut Parsonian diselesaikan melalui security approach dengan menggunakan tangan milter maupun milisi sipil dan bahkan preman. Tidak heran jika di negara berkembang fenomena militerisme dan premanisme tumbuh dengan subur.
Jika demikian realitas yang terjadi, lalu apa signifikansi agama dalam persoalan ini? Sejak Comte dan Weber memberikan pandangan mereka tentang tahapan masyarakat yang berkembang menuju masyarakat positivistik dan atau menuju masyarakat science. Sejak itu hingga sekarang agama menjadi tidak signifikan sebagai sarana perubahan sosial dan oleh karenanya tidak dibutuhkan sebagai sesuatu kecuali sebatas sarana pelestarian tradisi dalam aspek-aspek teologis dan ritualisme semata-mata. Bahkan dalam banyak kesempatan agama menjadi kendaraan yang sangat efektif untuk tujuan-tujuan pragmatis. Maka jangan heran agama kadangkala terlihat dalam citra premanisme dengan wajah yang sangar dan menakutkan (anda pernah menyaksikan pesta demokrasi menjelang pemilu ; kampanye atau yang lain?).
Lalu Gramschi mencoba memberikan sentuhan baru tentang makna agama sebagai sarana membangun spirit perubahan bagi masyarakat tertindas. Selain itu bermunculan berbagai pandangan tentang tema-tema teologi pembebasan dalam berbagai versi dan cara pandang. Namun sepertinya “agama kapitalisme” masih lebih eksis menjadi teologi yang dianut oleh masyarakat dunia hingga hari ini.
Lalu bagaimana dengan dunia Islam? Secara realistis entitas yang satu ini bernasib sama dengan yang lain ketika berhadapan dengan Kapitalisme. Bahkan dalam masyarakat yang kapitalistik saat ini, tidak sedikit dunia Islam ikut mengambil alih peran-peran agent of capitalism (sukarela atau terpaksa). Dalam situasi seperti ini tidak mungkin terhindarkan terjadinya konflik dan bahkan perang antar dunia Islam di berbagai belahan dunia ini. Karena dalam posisi seperti ini siapapun menjadi sangat mudah di-adu-domba. Di Indonesia, suatu negara yang bukan theokrasi, mayoritas warganya beragama Islam (moslem) tetapi nasibnya jauh lebih parah dari nasib masyarakat moslem di dunia Islam negara lain. Negeri yang dijuluki jamrud katulistiwa ini merupakan salah satu negeri yang sejak dulu memang mudah dan sering di-adu-domba. Dengan itu pula eksploitasi menjadi mudah dilakukan di negeri ini hingga sekarang.
Gambaran realitas dunia Islam di atas, sesungguhnya merupakan realitas agama dalam perspektif agama sosial. Artinya, Islam secara teologis tidak seperti itu. Dalam perspektif teologis, Islam mengandung berbagai ajaran yang bersumber dari nilai-nilai universal maupun konsep dan teori-teori yang brilian. Komitmen anti kapitalisme dalam Islam sangat konsisten tercatat di berbagai lembaran Alqur’an dan Hadits. Begitupun komitmen terhadap anti penindasan, eksploitasi, diskriminasi, serta komitmen terhadap keadilan sosial, kemanusiaan, demokrasi, pluralisme, dan lain-lain.
Konstruksi nilai, konsep dan teori seperti itu tidak sekedar lahir dalam logika wahyu semata atau dengan kata lain tidak serta merta turun dari langit begitu saja, melainkan juga atas dialektika sejarah kehidupan seorang yang bernama Muhammad (Rasulullah SAW) beserta para pengikutnya dan dialektika tersebut berproses sebagai gejala adaptasi sosio-kultural sebagaimana disinggung Sanderson (1997).
Itulah sebabnya mengapa Alqur’an tidak turun sekaligus (sedangkan hal itu sangat mungkin bisa dilakukan Allah Yang Maha Kuasa), melainkan turun secara bertahap. Tahapan-tahapan inilah yang menunjukkan bahwa nilai-nilai yang tertuang dalam wahyu tersebut merupakan output dari proses dialektika sejarah secara sosiologis pada waktu itu. Itulah sebabnya mengapa “nilai-nilai dari langit” (wahyu) itu bisa diturunkan secara operasional ke bumi (kehidupan sosial).
Pertanyaan besar yang bisa diajukan adalah, mengapa Islam tidak berdaya menghadapi taring kapiitalisme ? Secara teologis sebenarnya Islam sudah sangat tegas anti kapitalisme (bukalah Alqur’an, anda akan mendapatkan banyak informasi tentang hal itu. Diskusikan dengan ahlinya!).
Pokok masalahnya terletak pada ketidak-akuratan tafsir atas nilai-nilai yang universal selama ini dan ketiadaan metodologi yang adaptif dengan medan gelut yang dihadapi masyarakat dari waktu ke waktu. Situasi seperti ini pula yang kemudian menyebabkan masyarakat Islam cenderung konservatif dan cepat merasa puas hanya dengan menjalankan agama secara ristualisme; padahal menurut para sufi ritualisme, selain rutinitas dan jenuh, juga tidak cukup akurat dipakai sebagai tiket ke syurga (Baca Alqur’an Surat Al-Ma’un, di dalamnya ada informasi tentang ritualisme sholat yang sia-sia karena tidak implementatif secara sosial. Masih banyak lagi contoh pada surat dan ayat yang lain).
Lebih dari sekedar problem tafsir dan metodologi. Masyarakat Islam di Indonesia, selain tidak menguasai sumber-sumber penting (infrastruktur), mereka hidup dalam struktur sosial masyarakat yang sangat kapitalistik. Di sisi lain masyarakat Islam terkotak-kotak oleh struktur politik sektarian yang sekaligus rawan friksi dan chaos horizontal. Problem ini menjadi penting ditelaah secara lebih mendalam dalam ruang dan waktu yang lebih longgar.
Menyikapi Fenomena Hedonisme
Setiap masyarakat memiliki cara-cara yang khas dalam beradaptasi. Cara-cara khas tersebut bisa berupa output dari bentuk-bentuk consensus maupun konflik. Dalam masyarakat tradisional (pra-industri) proses adaptasi terhadap hal-hal baru di sekitarnya terasa amat lamban. Beda dengan masyarakat modern (industri), kecenderungan umum masyarakat tradisional masih sangat kuat bertahan pada nilai-nilai lama. Dalam masyarakat modern (industri), perkembangan nilai-nilai baru mendapatkan respon yang cukup siginifikan. Hal mana disebabkan oleh kompleksitas kebutuhan dan kepentingan masyarakat tersebut.
Hedonisme sebagai nilai baru yang –bukan sekedar berasal dari Barat, tepatnya berasal dari gaya hidup masyarakat industri modern yang lebih berwatak liberal. Adalah sebuah produk kebudayaan yang kini merambah ke dalam kehidupan masyarakat dunia ketiga, yang secara struktural masih sangat labil di satu sisi dan di sisi lain secara kultural masih cenderung konservatif (teguh memegang nilai-nilai tradisi lokal).
Jika diartikan secara sederhana, hedonisme berarti suatu cara pandang yang lebih mengedepankan gaya hidup bebas dan acapkali menolak nilai-nilai tradisi, termasuk menolak nilai-nilai agama yang dipandang terlalu mengikat.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa hedonisme adalah bentuk dari counter culture (budaya tandingan) yang sekaligus mengandung makna korektif terhadap budaya dominan yang sangat mapan. Sekalipun demikian, hedonisme seringkali menjadi biang dari berbagai “kekacauan” tatanan kehidupan dan bahkan mengancam keselamatan suatu peradaban.
Melihat asal muasal munculnya hedonisme sebagai counter culture, maka sikap penolakan dengan tetap bertahan pada cultur dominan yang cenderung anti perubahan sangat tidak menguntungkan. Sikap penolakan atas hedonisme mesti diimplementasikan ke dalam sikap inklusifitas. Artinya hedonisme tidak sekedar dipandang sebagai ancaman dan petaka, melainkan juga harus dilihat sebagai bentuk kritik dan koreksi atas kebudayaan dominan selama ini.
Buruk Muka Cermin Dipecah ; Sekedar Catatan Reflektif
Dalam konteks (politik) kebangsaan, pepatah “buruk muka cermin dibelah” adalah simbolisasi perwatakan suatu bangsa yang hanya siap memimpin namun tidak siap dipimpin. Juga simbolisasi atas keangkuhan dan egoisme, sebuah sikap mau menang sendiri. Generasi yang lahir dari rahim bangsa seperti ini, akan mengalami kesulitan untuk tumbuh menjadi manusia yang arif dalam menyikapi setiap perbedaan dan juga sulit untuk memahami serta membumikan makna pepatah “duduk sama rendah, berdiri sama tinggi, sedikit sama dirasa dan banyak dibagi bersama”. Demokrasi yang tumbuh dalam tata kehidupan politik bangsa seperti ini hanyalah sekedar sebuah “peseudo democracy”.
Dalam konteks keberagamaan, pepatah ini juga mensimbolisasi ketidaksiapan komunitas agama menghadapi realitas perbedaan sebagai fitrah. Kegagalan yang terjadi di komunitasnya selalu dilegitimasi sebagai akibat dari perbuatan komunitas lain di luar dirinya. Sangat mudah menyalahkan orang lain, padahal “duri” itu menancap di ulu hatinya sendiri. Barangkali benar orang lain punya andil sebagai penyebab sesuatu, tapi benarkah andil orang lain itu sebagai satu-satunya sebab? Di sinilah sikap otokritik dibutuhkan bagi setiap komunitas agama.
Dalam konteks berkebudayaan, acapkali tidak semua kelompok di masyarakat siap menghadapi keanekaragaman budaya di sekitarnya. Seringkali mereka gagal menyikapi setiap perbedaan latar belakang kultural. Satu kelompok menganggap dirinya sebagai yang paling luhur sedangkan yang lain dipandang hina. Orang kemudian saling mengejek dan menjatuhkan satu sama lain. Tidak sedikit konflik justeru terjadi di sekitar wilayah ini.
Kalaupun boleh digunakan pepatah ini dan oleh karenanya kehidupan akan menjadi lebih baik (demikian harapannya), adalah dengan memberikan tafsir yang berbeda sebagai berikut : untuk “memecah cermin” karena “betapa buruknya wajah negeri ini”, maka cermin yang mesti dipecah (baca : dipersalahkan) adalah kesenjangan-ketidakadilan, bukan perbedaan-ketidaksamaan. Dalam konteks ini pula tafsir tersebut mensyaratkan agar para pemimpin negeri yang “berwajah buruk” ini segera “memecahkan” egosentrisme di dalam diri (dan kelompok)-nya masing-masing, kemudian dapat duduk sama rendah berdiri sama tinggi mencari, menemukan dan menyelesaikan berbagai persoalan mendesak dan mendasar yang dihadapi rakyat negeri ini.
(II)
Keseharian hidup ini acapkali memang dihadapkan pada berbagai realitas, tidak hanya sekedar perbedaan, melainkan juga realitas kesenjangan. Namun sangat jauh berbeda antara makna perbedaan dengan makna kesenjangan. Perbedaan lebih bermakna ketidaksamaan, sedangkan kesenjangan lebih bermakna ketidakadilan. Kaum perempuan dan laki-laki secara kodrati tidaksama, oleh karena itu realitas kodrati di antara mereka bukan merupakan fenomena ketidakadilan. Realitas Ketidakadilan antara kaum perempuan dan laki-laki muncul tatkala kaum perempuan tumbuh di bawah dominasi kaum laki-laki. Ideologi Patriakhi adalah sebuah konstruksi suprastruktur yang menjadi penyebab lahirnya berbagai kesenjangan dalam kehidupan antara kaum perempuan dengan kaum laki-laki. Ini hanya satu contoh.
Contoh yang lain adalah kemiskinan. Bahwa kemiskinan bukanlah gejala perbedaan antara orang kaya dan tidak kaya, majikan dan buruh, tuan tanah dan budak, dan sebagainya sehingga kemiskinan sekedar dipahami sebagai sesuatu yang niscaya dan lumrah. Kemiskinan adalah sebuah gejala kesenjangan yang lebih bersifat struktural. Sebagai akibat dari struktur sosial (ekonomi-politik) yang nyata-nyata timpang. Demikian kiranya beberapa contoh dapat disebutkan di sini, tentunya masih banyak contoh lainnya yang dapat dijelaskan untuk membedakan antara makna perbedaan sebagai suatu ketidaksamaan, dengan makna kesenjangan sebagai suatu ketidakadilan.
Oleh karenanya, kearifan menyikapi perbedaan sangat dibutuhkan oleh siapapun, begitu pula kesungguh-sungguhan untuk melawan kesenjangan dan ketidakadilan. Mari bercermin pada keburukan wajah sendiri, lalu insyaf dan bertaubat (baca : berjuang melawan kedzaliman, ketidakadilan). Barangkali ini lebih baik daripada memecah cermin sedangkan yang buruk wajah kita sendiri.