22 Februari 2008

Menyikapi Fenomena Hedonisme

Diskusi tentang hedonisme akan lebih leluasa jika didekati melalui Konsep Evolusi Sosiokultural. Sebagai suatu pendekatan, konsep evolusi sosiokultural menawarkan telaah tentang bagaimana suatu komunitas atau lebih luas suatu masyarakat selalu berusaha beradaptasi dengan nilai-nilai baru yang berkembang di sekitarnya secara evolusioner.

Setiap masyarakat memiliki cara-cara yang khas dalam beradaptasi. Cara-cara khas tersebut bisa berupa output dari bentuk-bentuk consensus maupun konflik.
Dalam masyarakat tradisional (pra-industri) proses adaptasi terhadap hal-hal baru di sekitarnya terasa amat lamban. Beda dengan masyarakat modern (industri), kecenderungan umum masyarakat tradisional masih sangat kuat bertahan pada nilai-nilai lama. Dalam masyarakat modern (industri), perkembangan nilai-nilai baru mendapatkan respon yang cukup siginifikan. Hal mana disebabkan oleh kompleksitas kebutuhan dan kepentingan masyarakat tersebut.

Hedonisme sebagai nilai baru yang –bukan sekedar berasal dari Barat, tepatnya berasal dari gaya hidup masyarakat industri modern yang lebih berwatak liberal. Adalah sebuah produk kebudayaan yang kini merambah ke dalam kehidupan masyarakat dunia ketiga, yang secara struktural masih sangat labil di satu sisi dan di sisi lain secara kultural masih cenderung konservatif (teguh memegang nilai-nilai tradisi lokal).
Hedonisme bagi masyarakat industri modern adalah sebuah keniscayaan, namun bagi masyarakat tradisional budaya ini merupakan ancaman yang ditafsirkan akan selalu membawa petaka.

Jika diartikan secara sederhana, hedonisme berarti suatu cara pandang yang lebih mengedepankan gaya hidup bebas dan acapkali menolak nilai-nilai tradisi, termasuk menolak nilai-nilai agama yang dipandang terlalu mengikat.
Kaum hedonis dalam perilakunya selalu tampak dengan watak permisivistik (menghalalkan segala cara untuk mencapai hasrat hidupnya). Hal ini sebagai refleksi atas penolakan mereka terhadap nilai-nilai yang menurut pandangannya terlalu kaku, eksklusif, dan tidak memberikan kebebasan.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa hedonisme adalah bentuk dari counter culture (budaya tandingan) yang sekaligus mengandung makna korektif terhadap budaya dominan yang sangat mapan. Sekalipun demikian, hedonisme seringkali menjadi biang dari berbagai “kekacauan” tatanan kehidupan dan bahkan mengancam keselamatan suatu peradaban.

Melihat asal muasal munculnya hedonisme sebagai counter culture, maka sikap penolakan dengan tetap bertahan pada cultur dominan yang cenderung anti perubahan sangat tidak menguntungkan. Sikap penolakan atas hedonisme mesti diimplementasikan ke dalam sikap inklusifitas. Artinya hedonisme tidak sekedar dipandang sebagai ancaman dan petaka, melainkan juga harus dilihat sebagai bentuk kritik dan koreksi atas kebudayaan dominan selama ini. Asumsinya sederhana saja, ketika kebudayaan dominan telah terbuka atas kritik dan mau melakukan adaptasi atas kompleksitas kebutuhan hidup masyarakat, maka dengan sendirinya hedonisme tidak akan mendapatkan tempat. Masyarakat akan menemukan bentuk-bentuk baru dalam menjalani kehidupannya. Inilah subtansi dari sebuah pencerahan dan kemerdekaan.

Tidak ada komentar: