22 Februari 2008

Islam Versus Kapitalisme

Mengkaji tema Islam versus Kapitalisme, menjadi penting terlebih dahulu mendiskusikan agama dalam gejala masyarakat. Auguste Comte melihat masyarakat berkembang dari gejala teologis, metafisis, menuju masyarakat positivistik. Sejalan dengan Comte, Weber juga melihat masyarakat berkembang dari proses magic, religius, dan science. Tahapan perkembangan ini merupakan refleksi dari perkembangan cara pandang masyarakat terhadap dunia mereka (world of view)

Dalam konteks keberagamaan, masyarakat agama yang berkembang pada gejala pertama dan kedua merupakan cerminan dari suatu masyarakat terbelakang. Sedangkan perkembangan masyarakat agama pada gejala terakhir cermin dari suatu masyarakat yang tercerahkan (maju). Pengertian terbelakang dan tercerahkan di sini sangat interpretable dan bahkan debatable.

Bagi kalangan positivistik yang kemudian diintrodusir oleh penganut paradigma moderrnisme di era sekarang, kategori seperti ini memang dikehendaki, bagi mereka perdebatan di seputar itu sudah selesai. Tapi bagi penganut paradigma kritik sosial, kategori seperti itu tidak selamanya bisa diterima. Apakah benar masyarakat yang memandang dunia mereka secara teologis dan metafisik merupakan masyarakat terbelakang? Terbelakang dari apa dan siapa?

Defenisi keterbelakangan ternyata juga merupakan
world of view kaum modernisme yang nota bene representasi dari negara-negara maju (kapitalis) terhadap masyarakat dari berbagai negara yang mereka pandang sebagai negara berkembang, sedang berkembang, atau tidak berkembang (terbelakang).

Dengan demikian Keterbelakangan sebagai representasi masyarakat negara berkembang merupakan kategori yang diciptakan oleh dan atas dasar
world of view negara maju. Berdasarkan cara pandang seperti itu dominasi negara-negara maju atas negara-negara berkembang terjadi tanpa terhindarkan. Eksploitasi dan diskriminasi menjadi bagian tak terpisahkan dalam proses dominasi yang terjadi terus menerus dan mengurat-akar. Hingga terbentuklah new world of view masyarakat negara berkembang terhadap negara maju bahwa negara maju merupakan refleksi atas suatu kondisi masyarakat yang tercerahkan dan oleh karenanya masyarakat negara berkembang berlomba-lomba ingin menjadikan dirinya hidup seperti mereka.

Cara pandang seperti ini sesungguhnya suatu cara pandang yang semu dan terlahir akibat dari tidak sekedar dominasi, melainkan hegemoni. Implikasi secara ekonomi politik menjadi tidak menguntungkan dan mengancam keberlangsungan dan daya tahan harapan hidup masyarakat negara berkembang. Potensi-potensi yang dimiliki masyarakat menjadi sulit dipertahankan dan apalagi dikembangkan sesuai dengan citra lokal.


Seluruhnya telah masuk ke dalam atmosfer moderisme yang merubah wajahnya menjadi kapitalisme. Masyarakat negara berkembang disulap dan menjadi kian pasrah dan tak berdaya menyaksikan penghisapan sitematik yang dilakukan negara maju terhadap negaranya sendiri. Acapkali tanpa disadari sistem penghisapan yang terjadi berjalan sedemikian rupa membonceng isu-isu strategis seperti demokrasi, keadilan, dan kemanusiaan (HAM), dll.


Setiap lahir gejala-gejala kebangkitan lokalitas dalam masyarakat berkembang atas dasar spirit apapun, dengan mudah berbagai cap diberikan seperti sparatisme, radikalisme, fundamentalisme, dan terakhir terorisme. Cap-cap seperti ini tidak cukup dipahami sekedar sebagai teror dan intimidasi negara maju terhadap negara berkembang, tetapi juga meski dipahami sebagai strategi pelumpuhan atas berbagai potensi spirit of struggle yang dimiliki setiap masyarakat lokal di negara berkembang terhadap kapitalisme. Talcott Parsons menyebutnya sebagai gejala yang potensial merusak sistem dominan dan karenanya oleh penganut Parsonian diselesaikan melalui security approach dengan menggunakan tangan milter maupun milisi sipil dan bahkan preman. Tidak heran jika di negara berkembang fenomena militerisme dan premanisme tumbuh dengan subur.


Jika demikian realitas yang terjadi, lalu apa signifikansi agama dalam persoalan ini? Sejak Comte dan Weber memberikan pandangan mereka tentang tahapan masyarakat yang berkembang menuju masyarakat positivistik dan atau menuju masyarakat science. Sejak itu hingga sekarang agama menjadi tidak signifikan sebagai sarana perubahan sosial dan oleh karenanya tidak dibutuhkan sebagai sesuatu kecuali sebatas sarana pelestarian tradisi dalam aspek-aspek teologis dan ritualisme semata-mata. Bahkan dalam banyak kesempatan agama menjadi kendaraan yang sangat efektif untuk tujuan-tujuan pragmatis. Maka jangan heran agama kadangkala terlihat dalam citra premanisme dengan wajah yang sangar dan menakutkan (anda pernah menyaksikan pesta demokrasi menjelang pemilu ; kampanye atau yang lain?).


Lalu Gramschi mencoba memberikan sentuhan baru tentang makna agama sebagai sarana membangun spirit perubahan bagi masyarakat tertindas. Selain itu bermunculan berbagai pandangan tentang tema-tema teologi pembebasan dalam berbagai versi dan cara pandang. Namun sepertinya “agama kapitalisme” masih lebih eksis menjadi teologi yang dianut oleh masyarakat dunia hingga hari ini.


Lalu bagaimana dengan dunia Islam? Secara realistis entitas yang satu ini bernasib sama dengan yang lain ketika berhadapan dengan Kapitalisme. Bahkan dalam masyarakat yang kapitalistik saat ini, tidak sedikit dunia Islam ikut mengambil alih peran-peran agent of capitalism (sukarela atau terpaksa). Dalam situasi seperti ini tidak mungkin terhindarkan terjadinya konflik dan bahkan perang antar dunia Islam di berbagai belahan dunia ini. Karena dalam posisi seperti ini siapapun menjadi sangat mudah di-adu-domba. Di Indonesia, suatu negara yang bukan theokrasi, mayoritas warganya beragama Islam (moslem) tetapi nasibnya jauh lebih parah dari nasib masyarakat moslem di dunia Islam negara lain. Negeri yang dijuluki jamrud katulistiwa ini merupakan salah satu negeri yang sejak dulu memang mudah dan sering di-adu-domba. Dengan itu pula eksploitasi menjadi mudah dilakukan di negeri ini hingga sekarang.


Gambaran realitas dunia Islam di atas, sesungguhnya merupakan realitas agama dalam perspektif agama sosial. Artinya, Islam secara teologis tidak seperti itu. Dalam perspektif teologis, Islam mengandung berbagai ajaran yang bersumber dari nilai-nilai universal maupun konsep dan teori-teori yang brilian. Komitmen anti kapitalisme dalam Islam sangat konsisten tercatat di berbagai lembaran Alqur’an dan Hadits. Begitupun komitmen terhadap anti penindasan, eksploitasi, diskriminasi, serta komitmen terhadap keadilan sosial, kemanusiaan, demokrasi, pluralisme, dan lain-lain.


Konstruksi nilai, konsep dan teori seperti itu tidak sekedar lahir dalam logika wahyu semata atau dengan kata lain tidak serta merta turun dari langit begitu saja, melainkan juga atas dialektika sejarah kehidupan seorang yang bernama Muhammad (Rasulullah SAW) beserta para pengikutnya dan dialektika tersebut berproses sebagai gejala adaptasi sosio-kultural sebagaimana disinggung Sanderson (1997).


Itulah sebabnya mengapa Alqur’an tidak turun sekaligus (sedangkan hal itu sangat mungkin bisa dilakukan Allah Yang Maha Kuasa), melainkan turun secara bertahap. Tahapan-tahapan inilah yang menunjukkan bahwa nilai-nilai yang tertuang dalam wahyu tersebut merupakan output dari proses dialektika sejarah secara sosiologis pada waktu itu. Itulah sebabnya mengapa “nilai-nilai dari langit” (wahyu) itu bisa diturunkan secara operasional ke bumi (kehidupan sosial).


Pertanyaan besar yang bisa diajukan adalah, mengapa Islam tidak berdaya menghadapi taring kapiitalisme ? Secara teologis sebenarnya Islam sudah sangat tegas anti kapitalisme (bukalah Alqur’an, anda akan mendapatkan banyak informasi tentang hal itu. Diskusikan dengan ahlinya!).


Pokok masalahnya terletak pada ketidak-akuratan tafsir atas nilai-nilai yang universal selama ini dan ketiadaan metodologi yang adaptif dengan medan gelut yang dihadapi masyarakat dari waktu ke waktu. Situasi seperti ini pula yang kemudian menyebabkan masyarakat Islam cenderung konservatif dan cepat merasa puas hanya dengan menjalankan agama secara ristualisme; padahal menurut para sufi ritualisme, selain rutinitas dan jenuh, juga tidak cukup akurat dipakai sebagai tiket ke syurga (Baca Alqur’an Surat Al-Ma’un, di dalamnya ada informasi tentang ritualisme sholat yang sia-sia karena tidak implementatif secara sosial. Masih banyak lagi contoh pada surat dan ayat yang lain).


Lebih dari sekedar problem tafsir dan metodologi. Masyarakat Islam di Indonesia, selain tidak menguasai sumber-sumber penting (infrastruktur), mereka hidup dalam struktur sosial masyarakat yang sangat kapitalistik. Di sisi lain masyarakat Islam terkotak-kotak oleh struktur politik sektarian yang sekaligus rawan friksi dan chaos horizontal. Problem ini menjadi penting ditelaah secara lebih mendalam dalam ruang dan waktu yang lebih longgar.

Tidak ada komentar: