22 Februari 2008

Buruk Muka Cermin Dipecah ; Sekedar Catatan Reflektif

(I)

Satu pelajaran yang dapat dipetik dari makna pepatah “buruk muka cermin dipecah” adalah gambaran tentang kegagalan menyikapi realitas, dan itu sama artinya dengan ketidaksiapan menerima kenyataan hidup. Seseorang tidak siap memberi pengakuan atas kekurangan dirinya. Padahal pengakuan seperti itu amat penting sebagai motivasi untuk memperbaiki kehidupannya.

Dalam konteks (politik) kebangsaan, pepatah “buruk muka cermin dibelah” adalah simbolisasi perwatakan suatu bangsa yang hanya siap memimpin namun tidak siap dipimpin. Juga simbolisasi atas keangkuhan dan egoisme, sebuah sikap mau menang sendiri. Generasi yang lahir dari rahim bangsa seperti ini, akan mengalami kesulitan untuk tumbuh menjadi manusia yang arif dalam menyikapi setiap perbedaan dan juga sulit untuk memahami serta membumikan makna pepatah “duduk sama rendah, berdiri sama tinggi, sedikit sama dirasa dan banyak dibagi bersama”. Demokrasi yang tumbuh dalam tata kehidupan politik bangsa seperti ini hanyalah sekedar sebuah “peseudo democracy”.


"Seseorang tidak siap memberi pengakuan atas kekurangan dirinya. Padahal pengakuan seperti itu amat penting sebagai motivasi untuk memperbaiki kehidupannya"



Dalam konteks keberagamaan, pepatah ini juga mensimbolisasi ketidaksiapan komunitas agama menghadapi realitas perbedaan sebagai fitrah. Kegagalan yang terjadi di komunitasnya selalu dilegitimasi sebagai akibat dari perbuatan komunitas lain di luar dirinya. Sangat mudah menyalahkan orang lain, padahal “duri” itu menancap di ulu hatinya sendiri. Barangkali benar orang lain punya andil sebagai penyebab sesuatu, tapi benarkah andil orang lain itu sebagai satu-satunya sebab? Di sinilah sikap otokritik dibutuhkan bagi setiap komunitas agama.

Dalam konteks berkebudayaan, acapkali tidak semua kelompok di masyarakat siap menghadapi keanekaragaman budaya di sekitarnya. Seringkali mereka gagal menyikapi setiap perbedaan latar belakang kultural. Satu kelompok menganggap dirinya sebagai yang paling luhur sedangkan yang lain dipandang hina. Orang kemudian saling mengejek dan menjatuhkan satu sama lain. Tidak sedikit konflik justeru terjadi di sekitar wilayah ini.

Kalaupun boleh digunakan pepatah ini dan oleh karenanya kehidupan akan menjadi lebih baik (demikian harapannya), adalah dengan memberikan tafsir yang berbeda sebagai berikut : untuk “memecah cermin” karena “betapa buruknya wajah negeri ini”, maka cermin yang mesti dipecah (baca : dipersalahkan) adalah kesenjangan-ketidakadilan, bukan perbedaan-ketidaksamaan. Dalam konteks ini pula tafsir tersebut mensyaratkan agar para pemimpin negeri yang “berwajah buruk” ini segera “memecahkan” egosentrisme di dalam diri (dan kelompok)-nya masing-masing, kemudian dapat duduk sama rendah berdiri sama tinggi mencari, menemukan dan menyelesaikan berbagai persoalan mendesak dan mendasar yang dihadapi rakyat negeri ini.

(II)

Keseharian hidup ini acapkali memang dihadapkan pada berbagai realitas, tidak hanya sekedar perbedaan, melainkan juga realitas kesenjangan.
Namun sangat jauh berbeda antara makna perbedaan dengan makna kesenjangan. Perbedaan lebih bermakna ketidaksamaan, sedangkan kesenjangan lebih bermakna ketidakadilan. Kaum perempuan dan laki-laki secara kodrati tidaksama, oleh karena itu realitas kodrati di antara mereka bukan merupakan fenomena ketidakadilan. Realitas Ketidakadilan antara kaum perempuan dan laki-laki muncul tatkala kaum perempuan tumbuh di bawah dominasi kaum laki-laki. Ideologi Patriakhi adalah sebuah konstruksi suprastruktur yang menjadi penyebab lahirnya berbagai kesenjangan dalam kehidupan antara kaum perempuan dengan kaum laki-laki. Ini hanya satu contoh.

"Generasi yang lahir dari rahim bangsa seperti ini, akan mengalami kesulitan untuk tumbuh menjadi manusia yang arif dalam menyikapi setiap perbedaan dan juga sulit untuk memahami serta membumikan makna pepatah : “duduk sama rendah, berdiri sama tinggi, sedikit sama dirasa dan banyak dibagi bersama”


Contoh yang lain adalah kemiskinan. Bahwa kemiskinan bukanlah gejala perbedaan antara orang kaya dan tidak kaya, majikan dan buruh, tuan tanah dan budak, dan sebagainya sehingga kemiskinan sekedar dipahami sebagai sesuatu yang niscaya dan lumrah. Kemiskinan adalah sebuah gejala kesenjangan yang lebih bersifat struktural. Sebagai akibat dari struktur sosial (ekonomi-politik) yang nyata-nyata timpang. Demikian kiranya beberapa contoh dapat disebutkan di sini, tentunya masih banyak contoh lainnya yang dapat dijelaskan untuk membedakan antara makna perbedaan sebagai suatu ketidaksamaan, dengan makna kesenjangan sebagai suatu ketidakadilan.

Oleh karenanya, kearifan menyikapi perbedaan sangat dibutuhkan oleh siapapun, begitu pula kesungguh-sungguhan untuk melawan kesenjangan dan ketidakadilan. Mari bercermin pada keburukan wajah sendiri, lalu insyaf dan bertaubat (baca : berjuang melawan kedzaliman, ketidakadilan). Barangkali ini lebih baik daripada memecah cermin sedangkan yang buruk wajah kita sendiri.

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Selamat, blognya lumayan apik. Tulisane juga lumayan mateng. Humor dan anekdote lumayan asyik. Pokoke lumayan kuabehlah. Matur suwun tawarane belajar bareng. Teruskan ikhtarmu menulis dan membangun komunitas belajar bersama... salam, paktosu-jogja. (paktosu@yahoo.com)

Anonim mengatakan...

Paktosu bener, blog ini meskipun sederhana tapi isinya penuh makna. Makasih pak Thoib, aku didaftar ya jadi partisipan komunitas belajar bersama anda di blog ini. Sekali waktu mampirlah ke jurnal kamu, tulisan panjenengan kami tunggu. Kirim ke email : jurnalpopulika@yahoo.com.
Salam, Anjar.